Thursday, October 9, 2014

Piano Baru Ibu Tatiani Sejati

Suatu hari kelak, Ibu Sejati berharap Nathan menjadi pianis di gereja

Where do you want the piano, ma’am? “

“On that corner please,”

Dua orang dari moving company menggotong piano upright ke dalam ruang tamu Ibu Sejati. Sedikit kekuatiran muncul di dalam hati . Mampukah mereka menggotong piano yang berat ini ? Kalau tidak hati-hati  jadi tergores atau bahkan jatuh. Ibu Sejati kemudian ingat bahwa moving company ini memiliki asuransi. Andaikan terjadi hal yang tidak diinginkan , ia bisa mendapatkan ganti kerugian. Sekitar dua puluh menit kemudian, Ibu Sejati menarik napas lega. Klaim asuransi tidak diperlukan karena proses penggotongan piano berjalan dengan mulus. Puji Tuhan

Please sign on the over here

Ibu Sejati menanda tangani kuitansi pembayaran . Ia pun memberikan selembar cek kepada tukang angkat barang itu.

Thank you very much for your help!”

“You’re welcome, have a good day,”

Kedua orang itu pergi, meninggalkan Ibu Tatiani Sejati dengan piano barunya. Hati Ibu Sejati melonjak melihat pojok rumah di dekat jendela yang tidak kosong lagi. Benda yang sangat didambakannya  sejak remaja berdiri di sana.
            Ia teringat akan impian masa remajanya. Tatiani  senang musik. Ia senang bernyanyi. Tanpa disuruh, ia mengajukan diri untuk ikut paduan suara remaja di gerejanya. Suaranya yang agak rendah, membuat dia masuk bagian alto. Tatiani  merasa bahagia ketika suara tiap individu berbaur menjadi satu dan terjadi kerharmonisan antara sopran, mezzo sopran dan alto . Setelah hampir setahun menjadi anggota koor , perhatian Tatiani mulai terpusat kepada piano. Asyik  yah jika bisa main piano. Tambahan lagi yang menjadi pianis dalam koor remaja adalah Kak Michael. Selain jago berpiano, ia pun enak dipandang . Mulailah timbul keinginan besar dalam hati Tatiani untuk belajar piano.
         
       Tatiani remaja sadar bahwa kondisi keluarganya tidak memungkinkan untuk membeli sebuah piano atau membiayai kursus piano. Gaji ayahnya tidak cukup untuk hal ekstra semacam itu. Keadaan rumah mereka pun tidak mendukung keberadaan piano. Mereka tinggal di daerah yang agak rendah dan rawan banjir. Setiap tahun,ketika musim hujan , pasti dua atau tiga kali , air banjir merembes masuk ke dalam rumah mereka. Masa sih piano dibiarkan kebanjiran. Tatiani  tidak berani memberitahukan impiannya kepada orang tuanya. Ia tidak tega merepotkan kedua orang tuanya.

          Puji Tuhan , impian masa remajanya bisa terwujud sekarang. Dalam Tuhan tidak ada yang mustahil. Ibu Tatiani Sejati bersyukur karena keluarga Sejati mampu membeli dan membiayai kursus piano untuk kedua anak mereka. Ibu Tatiani Sejati bertekad menyediakan sarana dan prasarana untuk pendidikan musik anak-anaknya. Dalam benaknya, ia melihat Nathan atau Nadine Sejati memainkan piano mengiringi pujian dan penyembahan di gereja. All the glory for the Lord.
                                                              ***

         “Nathan, Nadine, you will have piano lesson tomorrow after school!” kata Ibu Tatiani dengan gembira

        “What? No way, I don’t like piano,” jawab Nathan

        “Learning piano is good for your brain. And I hope one day you will play piano in the church,”

       “Can I play drum instead?”

       “Let’s make a deal, if you learn piano for a year, then I will think about the drum,”
        
         “Ok!”

          “Mom, can you gave me a candy after each lesson?” Nadine kecil bertanya

          “Nadine, junk food is not allowed in this house!”

           Nadine cemberut mendengar jawaban Ibu Sejati.

          “But I will give you a present every time you learn a new song,”

           “Yeay!” Nadine bersorak

            Ibu Tatiani Sejati tidak sabar menunggu datangnya hari esok. Ia sangat bahagia bisa mengantar anak-anaknya les piano. Biarlah anak-anaknya menghidupi impian masa mudanya dahulu. Sungguh beruntung mereka. Puji Tuhan.
                                                        ***
             Setelah beberapa bulan kursus piano, Nathan dan Nadine mulai ngomel. Nathan bilang ia bosan belajar piano. Nadine juga kurang suka piano. Ia lebih suka menggambar . Namun Ibu Tatiani tidak menyerah. Ia mendorong anak-anaknya untuk tetap berlatih piano.
   
            “Come on Nathan, the piano is waiting for you. Remember what Mrs. Majesky said, thirty minutes a day,”

             “Mom, let me finish this game first,” jawab Nathan, asyik memainkan WII-nya.

             Ibu Tatiani mulai mendidih. Dasar anak tidak tahu diuntung. Haruskah ia ngomel terus menerus? Ia merebut WII remote controller dari tangan Nathan.

             “Practice ! Now!”

             Nathan cemberut. Namun ia menurut. Ia beranjak menuju piano.

             “You don’t have to be so mean, Mom,” kata Nadine

             “Shhh. After him, it’s gonna be your turn!” jawab Ibu Sejati dengan judes.
                Nathan mulai latihannya. Dari ruang TV, Ibu Sejati mengerutkan kening karena ia mendeteksi kesalahan pada lagu yang dimainkan Nathan. Ia pun masuk ke ruang tamu dan berdiri di belakang Nathan, memperhatikan partitur lagu yang dimainkan. Walaupun tidak menguasai not balok, Ibu Sejati mengerti bahwa Nathan salah menghitung ketukan lagunya.

               “Nathan …it’s wrong ! See, you suppose to do it like this,”

                Ibu Tatiani menepukkan tangannya untuk mendemonstrasikan ketukan yang tepat.

                “Mom, I can do it !”

                 Ibu Tatiani diam. Ia membiarkan Nathan mencoba sendiri, namun lagi-lagi Nathan salah.

                 “It’s still wrong, Nathan. Listen it’s supposed to be like this…clap… clap …clap…one two three …one two three,”

                  Nathan mendengarkan. Lalu ia mencoba memainkan seperti yang diajarkan Ibu Tatiani.

                 “There you go…Wait… Wrong again…Wrong again…Today you should practice for one hour, because it’s still not perfect,”

                 Nathan mulai berurai air mata.

                 “Why does it have to be perfect?  ”                   

                “Of course it has to,”

                 “Mrs. Majesky said it was okay,”

                 “Nathan, let me get the laptop and see how they played it in Youtube, then you’ll understand what I mean,”

                 “I hate piano!” Nathan membanting bukunya lalu lari ke kamar,”

                 Ibu Sejati menghela napas. Dalam hati ia berteriak minta tolong kepada Tuhan. Ekstra kesabaran untuk menahan tangannya menampar pipi Nathan yang tidak tahu diuntung.Ia mengetuk pintu kamar Nathan.

                 “Nathan!”

                 “Go away!”

                 “One day you will thank me for this. It’s my job to make you learn the piano! “
                  Ibu Tatiani sejati mengusap butiran keringat di dahinya. Ia balik menuju piano. Nadine sudah duduk dengan manis dan membuka buku pianonya. Pintar anak ini. Dia tidak mau mencari gara-gara dengan ibunya yang baru sewot.
Semoga Nadine jago piano seperti gadis manis ini

                                                                 ***
                 “Let’s go, kids. It’s almost six. Put on your shoes! “ujar Ibu Tatiani Sejati sambil mengambil tas dan kunci mobilnya. “ Nadine, come on! Nathan. Where are you? Hurry up Nathan. We’re gonna be late!”

                  Nadine ngacir pergi ke garasi. Nathan jalan pelan-pelan dengan muka cemberut.
                  “Hurry up Nathan! And do you forget something?”

                   Nathan mengangkat bahunya dengan muka yang masih cemberut.

                  “Your piano books! Go get them now! Hurry up. We’re almost late!”

                  “Piano sucks!” gumam Nathan

                  “What did you say, Nathan?”

                 “Nothing!” Nathan berlari ke garasi .

                  Duh Tuhan.  Betapa beratnya tugas menjadi ibu. Ibu Tatiani Sejati teringat pada mamanya . Mamanya tidak pernah bertengkar dengan anak untuk urusan kursus. Mana ada budget untuk kursus . Andaikata anaknya mengerti hidup yang pas-pasan seperti dirinya dulu .Mereka tidak sadar betapa beruntungnya mereka .

                   Ibu Tatiani Sejati naik ke mobilnya. Ia menyalakan mesin , memencet remote untuk membuka pintu garasi. Mobil minivan keluarga Sejati  berjalan menuju rumah Mrs. Majesky, sang guru piano.

                                                           ***                  
                   Jam sepuluh malam, lampu-lampu di kamar tidur atas sudah dimatikan. Nathan dan Nadine sudah berpindah ke alam mimpi . Lantai bawah masih berantakan. Dapur terlihat seperti kapal pecah, dengan buku, alat tulis, piring-piring makanan tertumpuk di atas meja. Panci dan penggorengan masih nangkring di dalam tempat cuci piring. Bulan-bulan lalu, jam sepuluh malam, biasanya semua sudah rapih. Ibu Tatiani merasa capek sekali. Ia tidak punya tenaga untuk membersihkan dapur. Ia ambruk di sofa dan memejamkan matanya.

                  “Honey, mau nonton DVD Saving Mr. Bank ? Review-nya bagus tuh,”

                  “Nggak ah, capek, Dad . Mau istirahat sebentar dulu. Pegel nih badan,”

                   Pak Sejati yang pendiam namun baik hati menghampiri istrinya yang loyo di sofa. Ia mulai memijati pundak istrinya.

                  “Capek kenapa sih ? Kalo capek, nggak usah masak lain kali. Beli take out aja,”

                  “Kan kita ada peraturan no junk food allowed in this house,”

                  “Nggak usah bikin peraturan yang berat berat lha…,” jawab Pak Sejati

                 “ Masak sih nggak masalah..aku capek hati saja ..akhir akhir ini, kok si Nathan nakal banget yah. Susah dikontrol. Dia nggak mau belajar piano,”

                  “Yah namanya anak kecil,”

                  “Tapi kan, belaajr piano baik buat dia. Kalo dia jago piano nanti, bisa melayani Tuhan di gereja, bisa cari duit dengan ngelesin piano,”

                  “Pelayanan kan bukan hanya music saja. Soal cari duit mah , jangan kuatir deh. Kan Tuhan yang berikan rejeki. Lagipula kalau bukan hobinya main piano, buat apa dipaksa sih. Ngapain kamu paksa dia untuk main piano,”

                   “Dia tuh tidak sadar betapa beruntungnya dia… Kalau saya dulu hidup seperti dia… “

                   “Kamu tuh bukan dia, honey. Dia juga bukan kamu,” potong Pak Sejati dengan lembut namun penuh kepastian.

                    Ibu Tatiani Sejati terdiam. Pundaknya yang pegal menikmati pijatan tangan suaminya yang hangat. Hatinya yang keruh merenungi kata-kata suaminya yang dalam.Kamu bukan dia. Dia juga bukan kamu

                   Betul juga perkataan Pak Sejati. Nathan adalah anak yang dititipkan Tuhan dalam hidup Ibu Sejati. Namun Nathan bukan milik pribadinya. Nathan punya kehendak pribadi yang harus dihormati. Dalam hal piano yang sebetulnya adalah hobi, mungkin kehendak Nathan harus dituruti.

                 “Kalo kursus pianonya dihentikan, kan sayang. Kita sudah mahal-mahal beli piano,” ujar Ibu Tatiani  “Ah kalau saja piano ini bisa di-teleport ke jaman saya muda dulu. Dulu saya ingin sekali belajar piano,”

                  Hmmmm ibu Tatiani tertegun mendengar kata-katanya sendiri. Tidak mungkin men-teleport piano ke jaman dahulu . Namun sangat memungkinkan kalau ia belajar piano sekarang. Sebagai ibu rumah tangga , waktunya lumayan fleksible. Kenapa tidak.

                  “Kalau ganti saya saja yang belajar piano, bagaimana Dad?”

                  “Boleh saja . Budget buat Nathan kan bisa dialihkan untuk kamu,”
“Tapi malu kan udah bangkotan gini…”

                  “Ah, tidak pernah ada kata bangkotan kalau mau belajar sesuatu,” jawab Pak Sejati dengan postitif.

                  Ibu Tatiani tersenyum. Ia bangkit dari sofa dan mengecup pipi suaminya.
                  
                 “Udah cukup pijatnya?” Tanya Pak Sejati

                 “Thanks… aku mau email Mrs. Majesky deh… Ganti Nathan, aku aja yang kursus piano,”


                 Ibu Sejati pun beranjak ke meja kerja dan membuka laptopnya. Sambil senyum senyum sendiri, ia mulai menulis email kepada guru piano anak-anaknya. Pak Sejati menyalakan TV. Ia hendak menonton serial Person of Interest. Nathan dan Nadine tertidur lelap di kamar mereka. Sementara itu, di langit musim gugur kota Toronto, bulan bersinar lembut . Sinarnya yang temaran menerangi Keluarga Sejati, tanpa mereka sadari. 

( Terimakasih untuk Juliani Soegandhi yang meminjamkan foto-fotonya ) 

No comments:

Post a Comment