Tuesday, October 21, 2014

Voluntir dan Mata yang Berwarna Warni

Hari hari ini, saya menyempatkan diri untuk voluntir di kelasnya Sophie.
Maunya sih, seminggu sekali, tapi dijadwalkan dua minggu sekali,
mungkin biar orang tua murid yang lain dapat kesempatan.

Di Amerika, guru akan senang sekali jika dibantu.
Mulai dari voluntir ketika anak makan siang,
bantu foto copy material pelajaran, jadi panitia jika sekolah mengadakan perayaan, bantu jualan ini itu untuk cari dana buat sekolah, dll.

Saya bantu gurunya Sophie untuk mengawasi anak-anak
ketika sedang bikinPS ( pekerjaan sekolah ).
Anak anak TK kan masih perlu dibimbing.

setelah selesai , anak-anak biasanya menggambar
di belakang kertas PS mereka
Ini gambarnya Sophie
Dengan demikian, saya jadinya kenal dengan
teman sekelas Sophie yang lucu-lucu.
Anak-anak kan polos, walaupun ada yang reseh atau bandel,
mereka tidak pasang topeng.
Kadang ada yang saking polosnya, jadi membuka rahasia keluarga.

Contohnya suatu kali, ada temannya Sophie yang tanya sama saya

" Are you Sophie's mom ?"

"Yes. Sophie looks like me, doesn't she ?"

Anak itu menganggukan kepalanya. Saya balik bertanya.

" Do you look like your dad ?"

" Yes, but my Dad does not live with me and my mom. 
My Mom is not happy with him. So he moved out,"

Saya jadi salah tingkah sendiri, bingung mau komentar apa
sama omongan anak ini.

Teman sekelas Sophie kebanyakan bule.
Ada dua orang yang Afro-amerika, satu orang India,
dua orang Latino, dan satu orang Iran.
Selain menikmati tingkah polah anak kecil yang polos dan lucu,
saya juga senang mengamati mata anak-anak itu.
Matanya berwarna warni.

dark brown, almond shaped eyes
Beruntung yah , yang ditakdirkan lahir dari ras Kaukasia...

Teman-teman Sophie ada yang warna matanya
biru cerah, biru abu-abu, coklat muda ( hazel),
hijau, hijau abu-abu dan coklat tua.
Teman kuliah saya, Camelia Effendy pernah bilang
enak sekali cewek bule yg matanya biru atau hijau atau coklat .
Tidak perlu pake eye shadow tebal-tebal,
pakai maskara sedikit saja mata sudah pop up.

Saya mengamati mata temannya Sophie
tanpa ada perasaan aneh atau janggal .

Pernah sekali, saya mengamati mata seseorang
lalu setelah itu merasa creepy sendiri.
Kejadiannya di rumah sakit.

Waktu itu saya baru melahirkan Sophie. Baru sehari.
Eddy tidak nginap di rumah sakit.
( Kalau anak ketiga, sudah tidak terlalu manja ),
karena ada Dani dan Tim yang perlu ditunggui di rumah.
Sebelumnya saya dijenguk oleh beberapa teman Indonesia.
Lalu setelah mereka pulang, suasana kamar saya pun jadi sepi lagi.
Baby Sophie sedang tidur di sebelah saya.

Lalu pintu kamar diketuk oleh dokter.

" Hello, this is Dr M., may I come in ?"

" Sure," jawab saya

Dokter M masuk. Di klinik OB/GYN saya,
hanya dia satu-satu dokter lelaki, yang lain semuanya dokter perempuan.
Dokter M lalu bertanya bagaimana kabar saya.
Apakah saya masih kesakitan, dll...
Pertanyaan-pertanyaan tentang kondisi saya yang wajar
ditanyakan oleh seorang dokter.

Kebetulan Dokter M waktu itu berdiri di bawah lampu,
dan sambil terus ngomong, saya tiba-tiba perhatikan matanya dia.
Di bawah sinar lampu kamar rumah sakit yang temaran,
terlihat mata Dr M berwarna biru terang.
Saya jadi terpana sendiri dan tuli terhadap apa yang dia bicarakan.

Lalu dia salaman, dan minta diri,
meneruskan tugasnya untuk menengok pasien-pasien yang lain.
Meninggalkan saya yang masih tersihir dengan mata birunya.

Beberapa saat kemudian , saya sadar kembali.
OMG, apakah saya ngelaba ? Mungkin saja.
Tapi kemungkinan besar itu karena perubahan hormon,
baru melahirkan ( menghibur diri sendiri ).

Hari ini sehabis mengamati dan
menikmati mata anak-anak di kelasnya Sophie,
saya bertanya tanya sendiri...

Is it a big deal ? Why am I so concerned about eyes ?

Namun kemudian teringat sebuah cerita pendek karya Ahmad Tohari
yang berjudul "Mata yang Enak Dipandang "
Juga sebuah program TV populer di Jakarta "Mata Najwa ".

Well, I think I'm not the only one.






Thursday, October 16, 2014

Daun Warna Warni Musim Gugur dan Ubah Rencana

Waktu saya belajar bahasa Cina dulu,
pas jaman kuda gigit besi,
ada satu kata yang muncul di text book 
yaitu Hongye yang kalau diterjemahkan secara harfiah adalah daun merah

daun warna warni musim gugur yang sudah gugur 

Setelah tinggal di mid-west, barulah saya mengalami hongye tersebut
Ketika musim gugur datang ( september-november )
pohon yang daunnya hijau akan berubah warna
Tidak hanya merah, ( hongye )
melainkan oranye, kuning mustard, burgundy, coklat

cuaca yang agak mendung pas jalan pagi

Cuaca pun mulai dingin,
Langit yang tadinya biru cerah mulai menjadi abu-abu kelam
Di toko pun mulai dijual apple cider ( juice apel ), 
yang bisa kita minum hangat atau dingin
Juga tibalah musimnya untuk petik apel di apple orchard
atau petik labu di pumpkin patch

Saat musim gugur, rasa yang populer adalah
rasa apple dan labu yang biasanya ada 
kombinasi rasa kayu manis dan cengkeh
Jadi kita bisa beli pumpkin pie donut
atau spiced apple caramel latte 
atau spiced pumpkin latte

(bukan iklan produk DD)
tomat yang tidak kunjung matang dari kebun suami
Baju-baju katun musim panas disimpan
Cardigan, jaket, syal, boots, dan topi mulai dipakai
Musim gugur adalah musim favorit saya

Pagi ini , saya dan dua orang teman jalan kaki 
untuk menikmati daun warna warni musim gugur
Lumayan juga kita jalan 2 mile lebih
Seger rasanya...pake acara selfie dan foto pemandangan

But first, let us take a selfie

Setelah itu kita kembali kepada kesibukan masing-masing
Saya ada janji eye check-up
Tapi pas datang ke optik,
mereka bilang dokternya tidak datang
karena ada pasien yang membatalkan appointmentnya
Mereka pikir saya membatalkan
Saya bilang, saya tidak telepon
Lho bagaimana sih ?
( saya mendongkol dalam hati )
Mereka nggak enak hati dan minta maaf

Rencana kedua untuk bikin bakso ayam juga gagal
Karena butcher di toko langganan kehabisan ayam cincang
Yah akhirnya saya beli ayam potong saja
( agak dongkol lagi )

Tapi Puji Tuhan tidak marah dan tidak kesel
Mungkin karena paginya sudah olahraga 
dan menikmati daun warna warni musim gugur
Mungkin juga karena dilindungi oleh Yang Mahakuasa
diberikan kesabaran supaya tidak cepat ngambek 
si tengah bantu sapu daun gugur
si bungsu juga..
nah kalo begini kan mamanya happy dan tidak gampang ngambek

Kalau bisa setiap hari maunya begitu
tambah sabar dan tambah enjoy







Thursday, October 9, 2014

Piano Baru Ibu Tatiani Sejati

Suatu hari kelak, Ibu Sejati berharap Nathan menjadi pianis di gereja

Where do you want the piano, ma’am? “

“On that corner please,”

Dua orang dari moving company menggotong piano upright ke dalam ruang tamu Ibu Sejati. Sedikit kekuatiran muncul di dalam hati . Mampukah mereka menggotong piano yang berat ini ? Kalau tidak hati-hati  jadi tergores atau bahkan jatuh. Ibu Sejati kemudian ingat bahwa moving company ini memiliki asuransi. Andaikan terjadi hal yang tidak diinginkan , ia bisa mendapatkan ganti kerugian. Sekitar dua puluh menit kemudian, Ibu Sejati menarik napas lega. Klaim asuransi tidak diperlukan karena proses penggotongan piano berjalan dengan mulus. Puji Tuhan

Please sign on the over here

Ibu Sejati menanda tangani kuitansi pembayaran . Ia pun memberikan selembar cek kepada tukang angkat barang itu.

Thank you very much for your help!”

“You’re welcome, have a good day,”

Kedua orang itu pergi, meninggalkan Ibu Tatiani Sejati dengan piano barunya. Hati Ibu Sejati melonjak melihat pojok rumah di dekat jendela yang tidak kosong lagi. Benda yang sangat didambakannya  sejak remaja berdiri di sana.
            Ia teringat akan impian masa remajanya. Tatiani  senang musik. Ia senang bernyanyi. Tanpa disuruh, ia mengajukan diri untuk ikut paduan suara remaja di gerejanya. Suaranya yang agak rendah, membuat dia masuk bagian alto. Tatiani  merasa bahagia ketika suara tiap individu berbaur menjadi satu dan terjadi kerharmonisan antara sopran, mezzo sopran dan alto . Setelah hampir setahun menjadi anggota koor , perhatian Tatiani mulai terpusat kepada piano. Asyik  yah jika bisa main piano. Tambahan lagi yang menjadi pianis dalam koor remaja adalah Kak Michael. Selain jago berpiano, ia pun enak dipandang . Mulailah timbul keinginan besar dalam hati Tatiani untuk belajar piano.
         
       Tatiani remaja sadar bahwa kondisi keluarganya tidak memungkinkan untuk membeli sebuah piano atau membiayai kursus piano. Gaji ayahnya tidak cukup untuk hal ekstra semacam itu. Keadaan rumah mereka pun tidak mendukung keberadaan piano. Mereka tinggal di daerah yang agak rendah dan rawan banjir. Setiap tahun,ketika musim hujan , pasti dua atau tiga kali , air banjir merembes masuk ke dalam rumah mereka. Masa sih piano dibiarkan kebanjiran. Tatiani  tidak berani memberitahukan impiannya kepada orang tuanya. Ia tidak tega merepotkan kedua orang tuanya.

          Puji Tuhan , impian masa remajanya bisa terwujud sekarang. Dalam Tuhan tidak ada yang mustahil. Ibu Tatiani Sejati bersyukur karena keluarga Sejati mampu membeli dan membiayai kursus piano untuk kedua anak mereka. Ibu Tatiani Sejati bertekad menyediakan sarana dan prasarana untuk pendidikan musik anak-anaknya. Dalam benaknya, ia melihat Nathan atau Nadine Sejati memainkan piano mengiringi pujian dan penyembahan di gereja. All the glory for the Lord.
                                                              ***

         “Nathan, Nadine, you will have piano lesson tomorrow after school!” kata Ibu Tatiani dengan gembira

        “What? No way, I don’t like piano,” jawab Nathan

        “Learning piano is good for your brain. And I hope one day you will play piano in the church,”

       “Can I play drum instead?”

       “Let’s make a deal, if you learn piano for a year, then I will think about the drum,”
        
         “Ok!”

          “Mom, can you gave me a candy after each lesson?” Nadine kecil bertanya

          “Nadine, junk food is not allowed in this house!”

           Nadine cemberut mendengar jawaban Ibu Sejati.

          “But I will give you a present every time you learn a new song,”

           “Yeay!” Nadine bersorak

            Ibu Tatiani Sejati tidak sabar menunggu datangnya hari esok. Ia sangat bahagia bisa mengantar anak-anaknya les piano. Biarlah anak-anaknya menghidupi impian masa mudanya dahulu. Sungguh beruntung mereka. Puji Tuhan.
                                                        ***
             Setelah beberapa bulan kursus piano, Nathan dan Nadine mulai ngomel. Nathan bilang ia bosan belajar piano. Nadine juga kurang suka piano. Ia lebih suka menggambar . Namun Ibu Tatiani tidak menyerah. Ia mendorong anak-anaknya untuk tetap berlatih piano.
   
            “Come on Nathan, the piano is waiting for you. Remember what Mrs. Majesky said, thirty minutes a day,”

             “Mom, let me finish this game first,” jawab Nathan, asyik memainkan WII-nya.

             Ibu Tatiani mulai mendidih. Dasar anak tidak tahu diuntung. Haruskah ia ngomel terus menerus? Ia merebut WII remote controller dari tangan Nathan.

             “Practice ! Now!”

             Nathan cemberut. Namun ia menurut. Ia beranjak menuju piano.

             “You don’t have to be so mean, Mom,” kata Nadine

             “Shhh. After him, it’s gonna be your turn!” jawab Ibu Sejati dengan judes.
                Nathan mulai latihannya. Dari ruang TV, Ibu Sejati mengerutkan kening karena ia mendeteksi kesalahan pada lagu yang dimainkan Nathan. Ia pun masuk ke ruang tamu dan berdiri di belakang Nathan, memperhatikan partitur lagu yang dimainkan. Walaupun tidak menguasai not balok, Ibu Sejati mengerti bahwa Nathan salah menghitung ketukan lagunya.

               “Nathan …it’s wrong ! See, you suppose to do it like this,”

                Ibu Tatiani menepukkan tangannya untuk mendemonstrasikan ketukan yang tepat.

                “Mom, I can do it !”

                 Ibu Tatiani diam. Ia membiarkan Nathan mencoba sendiri, namun lagi-lagi Nathan salah.

                 “It’s still wrong, Nathan. Listen it’s supposed to be like this…clap… clap …clap…one two three …one two three,”

                  Nathan mendengarkan. Lalu ia mencoba memainkan seperti yang diajarkan Ibu Tatiani.

                 “There you go…Wait… Wrong again…Wrong again…Today you should practice for one hour, because it’s still not perfect,”

                 Nathan mulai berurai air mata.

                 “Why does it have to be perfect?  ”                   

                “Of course it has to,”

                 “Mrs. Majesky said it was okay,”

                 “Nathan, let me get the laptop and see how they played it in Youtube, then you’ll understand what I mean,”

                 “I hate piano!” Nathan membanting bukunya lalu lari ke kamar,”

                 Ibu Sejati menghela napas. Dalam hati ia berteriak minta tolong kepada Tuhan. Ekstra kesabaran untuk menahan tangannya menampar pipi Nathan yang tidak tahu diuntung.Ia mengetuk pintu kamar Nathan.

                 “Nathan!”

                 “Go away!”

                 “One day you will thank me for this. It’s my job to make you learn the piano! “
                  Ibu Tatiani sejati mengusap butiran keringat di dahinya. Ia balik menuju piano. Nadine sudah duduk dengan manis dan membuka buku pianonya. Pintar anak ini. Dia tidak mau mencari gara-gara dengan ibunya yang baru sewot.
Semoga Nadine jago piano seperti gadis manis ini

                                                                 ***
                 “Let’s go, kids. It’s almost six. Put on your shoes! “ujar Ibu Tatiani Sejati sambil mengambil tas dan kunci mobilnya. “ Nadine, come on! Nathan. Where are you? Hurry up Nathan. We’re gonna be late!”

                  Nadine ngacir pergi ke garasi. Nathan jalan pelan-pelan dengan muka cemberut.
                  “Hurry up Nathan! And do you forget something?”

                   Nathan mengangkat bahunya dengan muka yang masih cemberut.

                  “Your piano books! Go get them now! Hurry up. We’re almost late!”

                  “Piano sucks!” gumam Nathan

                  “What did you say, Nathan?”

                 “Nothing!” Nathan berlari ke garasi .

                  Duh Tuhan.  Betapa beratnya tugas menjadi ibu. Ibu Tatiani Sejati teringat pada mamanya . Mamanya tidak pernah bertengkar dengan anak untuk urusan kursus. Mana ada budget untuk kursus . Andaikata anaknya mengerti hidup yang pas-pasan seperti dirinya dulu .Mereka tidak sadar betapa beruntungnya mereka .

                   Ibu Tatiani Sejati naik ke mobilnya. Ia menyalakan mesin , memencet remote untuk membuka pintu garasi. Mobil minivan keluarga Sejati  berjalan menuju rumah Mrs. Majesky, sang guru piano.

                                                           ***                  
                   Jam sepuluh malam, lampu-lampu di kamar tidur atas sudah dimatikan. Nathan dan Nadine sudah berpindah ke alam mimpi . Lantai bawah masih berantakan. Dapur terlihat seperti kapal pecah, dengan buku, alat tulis, piring-piring makanan tertumpuk di atas meja. Panci dan penggorengan masih nangkring di dalam tempat cuci piring. Bulan-bulan lalu, jam sepuluh malam, biasanya semua sudah rapih. Ibu Tatiani merasa capek sekali. Ia tidak punya tenaga untuk membersihkan dapur. Ia ambruk di sofa dan memejamkan matanya.

                  “Honey, mau nonton DVD Saving Mr. Bank ? Review-nya bagus tuh,”

                  “Nggak ah, capek, Dad . Mau istirahat sebentar dulu. Pegel nih badan,”

                   Pak Sejati yang pendiam namun baik hati menghampiri istrinya yang loyo di sofa. Ia mulai memijati pundak istrinya.

                  “Capek kenapa sih ? Kalo capek, nggak usah masak lain kali. Beli take out aja,”

                  “Kan kita ada peraturan no junk food allowed in this house,”

                  “Nggak usah bikin peraturan yang berat berat lha…,” jawab Pak Sejati

                 “ Masak sih nggak masalah..aku capek hati saja ..akhir akhir ini, kok si Nathan nakal banget yah. Susah dikontrol. Dia nggak mau belajar piano,”

                  “Yah namanya anak kecil,”

                  “Tapi kan, belaajr piano baik buat dia. Kalo dia jago piano nanti, bisa melayani Tuhan di gereja, bisa cari duit dengan ngelesin piano,”

                  “Pelayanan kan bukan hanya music saja. Soal cari duit mah , jangan kuatir deh. Kan Tuhan yang berikan rejeki. Lagipula kalau bukan hobinya main piano, buat apa dipaksa sih. Ngapain kamu paksa dia untuk main piano,”

                   “Dia tuh tidak sadar betapa beruntungnya dia… Kalau saya dulu hidup seperti dia… “

                   “Kamu tuh bukan dia, honey. Dia juga bukan kamu,” potong Pak Sejati dengan lembut namun penuh kepastian.

                    Ibu Tatiani Sejati terdiam. Pundaknya yang pegal menikmati pijatan tangan suaminya yang hangat. Hatinya yang keruh merenungi kata-kata suaminya yang dalam.Kamu bukan dia. Dia juga bukan kamu

                   Betul juga perkataan Pak Sejati. Nathan adalah anak yang dititipkan Tuhan dalam hidup Ibu Sejati. Namun Nathan bukan milik pribadinya. Nathan punya kehendak pribadi yang harus dihormati. Dalam hal piano yang sebetulnya adalah hobi, mungkin kehendak Nathan harus dituruti.

                 “Kalo kursus pianonya dihentikan, kan sayang. Kita sudah mahal-mahal beli piano,” ujar Ibu Tatiani  “Ah kalau saja piano ini bisa di-teleport ke jaman saya muda dulu. Dulu saya ingin sekali belajar piano,”

                  Hmmmm ibu Tatiani tertegun mendengar kata-katanya sendiri. Tidak mungkin men-teleport piano ke jaman dahulu . Namun sangat memungkinkan kalau ia belajar piano sekarang. Sebagai ibu rumah tangga , waktunya lumayan fleksible. Kenapa tidak.

                  “Kalau ganti saya saja yang belajar piano, bagaimana Dad?”

                  “Boleh saja . Budget buat Nathan kan bisa dialihkan untuk kamu,”
“Tapi malu kan udah bangkotan gini…”

                  “Ah, tidak pernah ada kata bangkotan kalau mau belajar sesuatu,” jawab Pak Sejati dengan postitif.

                  Ibu Tatiani tersenyum. Ia bangkit dari sofa dan mengecup pipi suaminya.
                  
                 “Udah cukup pijatnya?” Tanya Pak Sejati

                 “Thanks… aku mau email Mrs. Majesky deh… Ganti Nathan, aku aja yang kursus piano,”


                 Ibu Sejati pun beranjak ke meja kerja dan membuka laptopnya. Sambil senyum senyum sendiri, ia mulai menulis email kepada guru piano anak-anaknya. Pak Sejati menyalakan TV. Ia hendak menonton serial Person of Interest. Nathan dan Nadine tertidur lelap di kamar mereka. Sementara itu, di langit musim gugur kota Toronto, bulan bersinar lembut . Sinarnya yang temaran menerangi Keluarga Sejati, tanpa mereka sadari. 

( Terimakasih untuk Juliani Soegandhi yang meminjamkan foto-fotonya ) 

Thursday, October 2, 2014

Kisah Seram dari Restoran

Beberapa hari yang lalu, saya pergi ke restoran take out teman saya.
Restoran mungil ini, jika siang hari, hanya ditangani oleh teman saya
( yang melayani tamu ) dan suaminya ( yang memasak makanan).
Saya duduk di kursi, sementara teman saya yang lincah
mondar mandir terima telepon, ambil makanan ke dapur,
melayani tamu yang bayar.
Teman ini memang "high energy".
Dia mampu melakukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan .

Pada waktu senggang ketika tamu atau telepon tidak datang,
dia ngobrol dengan saya .
Begitu tamu datang, dia cabut lagi, begitu tamu cabut , dia ngobrol lagi .
Dia begini terus without losing her head.
Hebat teman saya yang satu ini.

Saya pun mengamati tamu-tamunya.
Ada yang berkulit hitam, ada yang putih.
Ada yang pekerja kantor atau pekerja kasar.
Tapi tidak ada yang orang Asia.
Seru juga neh, kata saya dalam hati.
Rame. Baguslah...banyak rejeki buat teman saya.

Kemudian datanglah seorang ibu dengan dua orang anak perempuannya.
" No school today ?" tanya teman saya kepada ibu itu
(karena waktu itu adalah jam sekolah )
" They are home schooled," jawab ibu itu
" Oh, what a great mom you are," puji teman saya

Dalam hati saya juga memuji ibu tersebut.
Homeschooling itu bikin kerjaan ekstra buat ibu rumah tangga
( No homeschooling for me, hehehehe ).
Setelah membayar dan mengambil pesanannya,
si ibu beserta dua orang anak perempuannya keluar dari resto teman saya.

Begitu tamunya pergi, teman saya langsung heboh.
"Hei , kamu lihat kan ibu itu..Dia kelihatannya manis kan ?"

Saya menganggukan kepala. Mulailah teman saya bercerita.

Si ibu itu dulu sempat sering ke resto teman saya.
Ia juga sering kelihatan di kompleks pertokoan
di mana resto teman saya berada.
Itu berlangsung selama kurang lebih setahun.
Namun , kemudian teman saya tidak pernah melihat ibu itu lagi.
Dan pada suatu malam, ketika teman saya sedang menonton televisi acara kriminal.. terpampanglah foto si ibu itu.

Ibu itu diseret ke pengadilan,
karena mencampur obat tetes mata suaminya dengan cairan pembersih. Akibatnya mata suaminya menjadi rusak.
Ketika suaminya pergi ke rumah sakit dan memeriksa matanya,
pihak rumah sakit langsung menelepon polisi.
Dan kemudian kisah mereka jadi rame.

Rupanya ibu itu mau balas dendam karena suaminya berselingkuh.

Saya pun teringat kisah kriminal yang saya baca minggu lalu, tentang seorang pacar gelap yang meracuni kekasihnya karena kekasihnya mau balik kepada istrinya. Akibat diracuni, sang lelaki jadi mengalami kerusakan ginjal.
Mereka berdua adalah dokter oncologist dari rumah sakit terkenal di Amerika.

Haduhhhhh....!

Saya jadi ingat teman yang lain. Ia cerai lalu menikah dengan suami kedua. Perceraiannya dengan suami pertama disebabkan karena eks-nya kecanduan berselingkuh. Saya telepon dia.

" Eh, elu apa nggak kepikiran mau kasih racun sama eks elu ?" tanya saya

" Nggak. Gue takut . Kalo gue sampe masuk penjara, kan anak anak jadi jatuh ke tangan dia. Tapi buat balas dendam , gue retail therapy, dan dugem," jawabnya.

Saya juga membahas masalah ini dengan teman yang lain.

" Kalau suami elu selingkuh, gimana ? Elu mau racunin dia nggak ?"

" Kalo gue , gue potong barangnya ," jawab teman saya yang lain.

Haduhhhhh....! 

Saya terbelalak, karena teman saya yang ini orangnya sangat manis,
tapi ternyata dia bisa sadis .
Buat saya sendiri, saya nggak akan berani potong..
tapi racun adalah pilihan yang menarik untuk balas dendam
( I am an Agatha Christie's fan after all ).

Saya berdoa supaya saya dan suami dijauhkan dari masalah pelik semacam ini.
Tapi dalam pernikahan, doa saja tidak cukup. Ada perjuangan batin dan fisik untuk menjaga kesetiaan. Misalnya, tidak bergenit-genit dengan lawan jenis . Istilah Inggrisnya "no flirting" . Tidak membuka celah. Setelah menikah, tidak etis untuk berduaan dengan lawan jenis. Kalau memang harus bertemu dengan lelaki lain, kan bisa bawa teman atau keluarga ( bertiga lebih baik daripada berduaan).

Banyak orang yang terjebak, karena ingin pengalaman yang meledak-ledak.
Ini memang masalah yang agak pelik dan sensitif.
Biasanya kalau sudah menikah agak lama, ledakannya kurang.
Namun saya meyakini, selalu ada pertolongan yang sah
( dari berbagai pihak , termasuk pihak Yang Mahakuasa )
Bisa pergi ke dokter, bisa konsultasi ke psikolog atau makan obat.
Atau berdoa saja kepada yang Kuasa.
Saya pikirYang Kuasa mampu memberikan ledakan baru
demi keutuhan keluarga.
Asal kita beriman dan mau menjaga hati nurani yang bersih.

Kalau memang sudah tidak tahan,
mungkin lebih baik bungee jumping di Bali.
Pakai saja semua tabungan untuk mendapatkan pengalaman yang meledak.
Lebih baik duit habis daripada rumah tangga berantakan.
Karena pada akhirnya, jika memang malapetaka ini terjadi,
siapa yang jadi korban...?

Anak-anak.

Anak-anak yang manis dan polos, yang dititipkan kepada orang tua.

Kalau sudah soal anak.. yah...
lebih baik batu kilangan ditaruh di leher ,
lalu lari ke kali Ciliwung
daripada membuat hidup anak sendiri menjadi rusak.